
Gifted & Talented

Parenting

Yeni Sahnaz
0857-2087-5470

Hai sahabat Gifted di mana saja berada.
Website ini saya dedikasikan untuk berbagi pengalaman dalam mengasuh dan mendidik Anak Gifted.
Informasi yang saya bagikan berdasarkan studi literatur, pengalaman pribadi, edukasi dari para pakar serta interaksi langsung dengan para Anak Gifted dan orangtuanya.
Jika sahabat membutuhkan pendampingan, silahkan hubungi saya.
Salam Yeni Sahnaz

Teman Bicara
Menyikapi banyak orang menghubungi saya melalui online dan offline curhat tentang kondisi anaknya. Saya mendedikasikan diri untuk mendampingi para orangtua menjadi teman bicara, turut mengurai permasalahan dan membantu mencarikan jalan keluarnya. Jika ingin saya dampingi silahkan kontak saya.
Saya dapat merasakan kegelisahan para orangtua karena pernah mengalami hal yang sama. Terlebih saat itu masih sulit mengakses informasi serta media sosial belum ada. Tak ada teman untuk bertanya dan curhat benar-benar menyesakkan dada dan membuat mental saya jatuh. Saya merasakan seperti berpusar di lorong labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Setidaknya jika ada teman bicara, pikiran menjadi jernih hingga dapat mengatasi persoalan dengan tepat.

Sejujurnya saya ingin menjadi Ibu yang arif dan bijaksana dalam mengasuh buah hati agar mereka sehat lahir batin, cerdas, berakhlak mulia dan bermanfaat dalam kehidupan. Tapi ternyata tidak mudah, saya sempat tersesat saat membesarkan B yang memiliki atribut psikologis tidak biasa dimana karakteristiknya berbeda dari anak-anak pada umumnya.
Selama 12 tahun saya berpusar-pusar bagai menelusuri lorong labirin yang gelap dan tak berujung karena ketidak pahaman dalam memaknai sinyal-sinyal kebijaksanaan dan keberbakatan yang dipancarkan dalam perilaku B.
Penggalan fragmen kehidupan sehari-hari dalam mendampingi B membuat saya terpontang-panting bak menaiki rollercoaster hingga sering ternganga, tertawa atau terluka.
Melalui buku ini saya berharap pembaca dapat memetik hikmah dari serpihan peristiwa dalam mendampingi B yang awalnya terasa bagai mendapat musibah, namun selanjutnya menjadi limpahan berkah.
(Buku GIFTED yang saya tulis diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 2013 dan mendapat sambutan positif dari masyarakat. Lebih dari 100 surat saya terima dari pembaca dan bersyukur menjadi buku yang dipilih Kick Andy untuk didonasikan sebanyak 700 eksemplar).
Buku Gifted




Tentang Anak
Setiap anak itu unik, mereka memiliki karakteristik dan pola alamiah tumbuh kembang berbeda. Jadi cara pengasuhan serta pendidikannya juga tidak sama. Ada anak yg mudah diasuh dan dididik seperti melalui jalan tol yang lancar jaya tanpa kendala dan ada pula yang sebaliknya ekstrim melalui jalan berliku, curam dan terjal seperti off road.
Dalam sebuah seminar di sebuah PTN Jakarta, saya bertemu narasumber seorang Bapak yang kedua anaknya selalu berprestasi di sekolah sampai lulus kuliah kedokteran di PTN sebelum usia 20. Menurut beliau kedua anaknya tidak mengalami kendala sosial emosional, mereka begitu manis, penurut dan tidak berulah. Beberapa audiens menanyakan tips pengasuhan kepada Beliau.
“ Oh saya tidak melakukan perlakuan apa pun kepada anak saya, bahkan saya tidak tahu teori parenting. Anak saya melakukan segalanya sendiri, mereka kooperatif pada aturan di rumah dan di sekolah. Mereka memang senang belajar, bahkan saya yang sering mengingatkan agar jangan belajar berlebihan.”
Jawaban Beliau membuat saya tersenyum kecut dan tertohok karena saya baru saja berbicara di forum tentang pengalaman diajak naik roller coaster oleh anak. Mendengarnya saya merasa, betapa lebaynya jalan yang saya tempuh untuk memahami anak: konsul ke psikolog, psikiater, mencari referensi ke perpustakaan, toko buku, mengubek-ubek mbah Google, mengikuti seminar, mengunjungi dinas pendidikan, menyurati tokoh pendidikan, curhat kepada para pendidik dan orangtua lain bahkan mengambil kuliah pendidikan meski secuil. Saya juga dapat bonus banyak dikomplen guru, jutakan sama suami, diomelin teman dll.
Karena ketidakpahaman akan karakteristik anak membuat saya bingung luar biasa. Dampaknya banyakkk…. Saya stress, anak pun mengalami stress dan psikosomatis. Kesalahan yang saya lakukan diantaranya melakukan KDRT, hal itu membuat saya dan anak mengalami trauma berkepanjangan yang mengganggu keharmonisan keluarga.
Saya baru menyadari bila saja saat itu saya terkoneksi dengan informasi yang saya butuhkan serta ahli yang mumpuni dalam penanganan anak seperti itu, dilengkapi memiliki teman berbincang yang dapat dipercaya dan membantu mencarikan solusi terbaik, beragam pengalaman buruk tidak akan saya dan anak alami, cara pengasuhan menjadi efektif.
Kepada para orangtua yang senasib dengan saya dan masih bingung, ayolah kita memberdayakan diri terus bertumbuh untuk memahami karakteristik anak demi mempermudah proses pengasuhan dan pendidikannya. Berusahalah memanfaatkan banyak support system yang tersaji di depan mata yakni informasi yang melimpah, para ahli yang mumpuni dan parent support group yang siap menaungi dan berbagi.

.jpeg)
Ketika kau menyapa dunia…Ibu sungguh tak memahami jati dirimu yang sebenarnya
Dalam mengasuhmu Ibu kerap lepas kendali
Ternyata tak cukup bekal pengetahuan yang Ibu pelajari selama ini
Mengapa kau tak seperti anak lainnya..Mudah diarahkan dan tak suka berbantahan
Namun kau selalu tunjukkan kepedulian kepada orang-orang yang terpinggirkan
Sumpah serapah dan pukulan..Kerap kau dapatkan dalam keseharian di rumah dan di sekolah
Sampai tiba waktunya Ibu tersadarkan …Setelah lelah meluapkan amarah
Karena kau menolak mengerjakan PR dari sekolah…Sejujurnya Ibu pun sudah jengah
Melihat buku LKS yang tak layak digunakan…Dicetak dalam kertas buram
Penuh soal-soal hingga ribuan…Dengan tulisan rapat dan kecil membuat matamu kelelahan
Dan nalarpun terhenti tak lagi mau jalan
Di sudut ruang engkau meringkuk ketakutan…Dengan tatapan sayu engkau bergumam
“Aku bukan anak idaman para guru dan orangtua…Tapi ijinkan aku menjadi diri sendiri menapaki peta kehidupan yang kuinginkan”
Malam pun tiba
Kau terkulai sakit tak berkesudahan…Berkali-kali tubuhmu terhentak kejang
Ibu sampai puncak kepasrahan…Dari lubuk hati paling dalam Ibu bisikan
“Maafkan Ibumu Nakkkk…”
Meski mata terpejam tiba-tiba engkau tersadar…Dengan suara lirih engkau berujar
“Ibu orang baik…tidak bersalah… Ibu hanya lelllah…”
Ananda tersayang…
Terimakasih telah berkenan mendampingi Ibu dalam kehidupan
Lalu kau tuntun dan ajarkan makna yang hakiki keluhuran akal budi…keikhlasan…kesabaran… kasih sayang… toleransi…persahabatan dan berbagi
Ananda Tersayang
Keprihatinan atas belum adanya support system bagi tumbuh kembang dan pendidikan Anak Gifted di Indonesia mendorong saya mendirikan Komunitas Indonesia Peduli Anak Gifted (IPAG) pada 7 Oktober 2012.
-
Visi Komunitas IPAG adalah untuk memperjuangkan hak pengasuhan dan pendidikan terbaik bagi Anak Gifted hingga mereka menjadi manusia yang bahagia, bermartabat dan bermanfaat memperbaiki peradaban.
-
Misi yang dilakukan adalah bekerjasama dengan berbagai pihak yang memiliki kepedulian pada isue Giftedness. Berbagai kegiatan yang telah dilakukan oleh komunitas IPAG antara lain mengadakan diskusi, seminar, workshop, assessment, audiensi, advokasi, membantu penelitian mahasiswa, menerbitkan buku serta sosialisasi melalui media cetak dan elektronik.
-
Komunitas IPAG dibina oleh saya dan Ibu Julia Maria van Tiel seorang Ibu Anak Gifted, mantan Dosen Kedokteran Gigi Universitas Indonesia dan Unair. Beliau tinggal di Belanda, telah menulis banyak buku Giftedness serta membagikan ilmunya dalam diskusi, seminar dan workshop di berbagai pelosok tanah air sejak tahun 2000.
-
Komunitas IPAG inklusif dari berbagai latar belakang berbeda, sehingga diharapkan akan terbentuk ekosistem yang mendukung tumbuh kembang Anak Gifted Indonesia. Anggota IPAG berjumlah 4.500 orang pada November 2024 yang tersebar di seluruh pelosok tanah air serta di luar negeri, terdiri dari para orangtua Anak Gifted, para profesional, mahasiswa dan simpatisan. IPAG mendukung penuh berdirinya Parents Support Group di berbagai wilayah dengan tujuan agar pengetahuan tentang Giftedness berkembang pesat menjangkau masyarakat luas. Sudah berdiri PSGGC Jabodetabek, Semarang, Bandung, Jawa Timur, Yogya, Pontianak, Solo dan Jakarta.
Komunitas Indonesia Peduli Anak Gifted


Sebuah pendekatan terbaru dari The European Council for High Ability (ECHA), mengingat pada balita belum bisa dilakukan tes IQ maka untuk mengindentifikasi potensi Gifted pada balita yang mengalami lompatan perkembangan (Monks, 1992) dapat dilihat dari karakteristik yang ditunjukannya antara lain:
-
Rasa ingin tahu yang amat tinggi.
-
Daya ingat amat baik.
-
Perbendaharaan kata amat kaya.
-
Menyusun kalimat yang panjang dan menggunakan kata-kata yang sulit.
-
Mengerti berbagai tugas atau pekerjaan.
-
Mempunyai selera humor dan memahami lelucon.
-
Minat yang luas.
-
Memerlukan sedikit penjelasan.
-
Meminta penjelasan (mengapa?) pada usia yang sangat dini, dan kemudian mengajukan pertanyaan lagi dan lagi (sampai orang dewasa tidak tahu jawabannya lagi).
-
Dalam permainan menunjukkan bahwa ia memiliki rencana.
-
Mengajukan pertanyaan yang orisinal dan mengejutkan.
-
Tertarik pada huruf dan angka.
-
Tidak suka pengulangan.
-
Cepat bosan.
-
Memiliki imajinasi yang kaya dalam bermain dan bercerita.
-
Berpikir mendalam tentang berbagai kejadian.
-
Menyukai permainan bersama anak-anak yang lebih besar.
-
Terlihat aneh dan keras kepala.
-
Memiliki rasa keadilan yang tinggi.
20. Suka bermain dengan anak-anak yang lebih besar.
21. Ingin menjadi yang pertama, yang terbaik, yang tercepat.
22. Perfeksionis.
Karakteristik Balita Berpotensi Gifted




Diagnosa Tidak Tepat
Para orangtua yang tergabung dalam Komunitas Indonesia Peduli Anak Gifted sebagian besar mengakui kesulitan untuk mendapatkan diagnosa yang tepat pada anaknya. Meski sudah ‘Shopping’ ke beberapa ahli, seringkali mendapatkan diagnosa berbeda. Kesalahan diagnosa juga menambah penderitaan ketika anak mendapatkan penanganan yang kontraproduktif karena tidak tepat dan tidak dibutuhkan melalui berbagai terapi. Hal ini terjadi karena gejala-gejala yang terlihat pada balita berpotensi Gifted (balita yang mengalami lompatan perkembangan) cenderung menyerupai gejala-gejala pada anak yang mengalami gangguan seperti ADHD dan Autis. Begitu juga pada anak fase sekolah, diagnosa bisa bertambah dengan label depresi, stress, bipolar, OCD, ODD, gangguan kecemasan, disleksia, berkesulitan belajar dan stigma sebagai anak nakal.
Beberapa Contoh Kasus
-
B*** (Bogor) Gifted + psikosomatis. Saat usia 6 tahun mendapat diagnosa Debil (berkecerdasan rendah) dari psikolog. B*** sejak balita sampai SMP sering sakit dengan gejala berbeda-beda yaitu demam tinggi, tubuh lemas, kejang, sesak nafas, sakit perut, sakit tenggorokan, batuk kering. B*** sejak bayi sudah berkonsultasi ke dokter ahli tumbuh kembang anak, dokter THT, psikolog dan psikiater, mengkonsumsi beragam obat-obatan dan berkali-kali menjalani tes Mantoux, foto rontgen, bahkan dokter pernah menganjurkan untuk menjalani pemindaian MRI otak, operasi amandel serta usus buntu. Potensi B*** terlihat sejak balita senang menggambar komik 3 dimensi dan menulis sains fiksi bahasa Inggris saat usia 12, namun di sekolah pencapaian akademisnya di bawah batas ketuntasan. Ia menjalani homeschooling setelah lulus SMP dan melanjutkan kuliah di jurusan sinematografi. Kini tengah merintis karir sebagai sineas.
-
I**** (Bandung) Gifted + gangguan katup lambung + agresif. Saat bayi dan masa kanak-kanak berkonsultasi pada 9 ahli hingga mendapat banyak diagnosa berbeda. Potensi I**** terlihat sejak balita ia senang belajar sains secara otodidak. Ia menjalani homeschooling dan melanjutkan kuliah di ITB pada usia 14 tahun, lulus pada usia 18 tahun dan saat ini sudah bekerja.
-
R**** (Bogor) Gifted + terlambat bicara. Saat balita mendapat diagnosa Autis dan saat kanak-kanak mendapat diagnosa Savant. R**** sempat menjalani terapi wicara dan perilaku. Potensi R**** telihat sejak balita memiliki kemampuan pandangruang yang tinggi hingga dapat menggambar 3 dimensi secara manual dengan presisi baik bangunan maupun kendaraan dan saat ini tengah menyelesaikan kuliah.
-
T*** (Semarang) Gifted + terlambat bicara. Saat balita berkonsultasi pada beberapa ahli, mendapat diagnosa Autis dan Tuna Rungu sehingga dianjurkan untuk diterapi dan dipasang implant di telinganya. Potensi T*** terlihat sejak balita senang menggambar 3 dimensi beragam obyek dan kemampuan bicaranya berkembang pesat, saat ini sudah menyelesaikan S2 dan bekerja.
-
Pengalaman seorang Ibu anggota IPAG asal Sumatra, “Saya membawa konsul putra saya ‘ I ‘ usia 4 tahun ke Dokter tumbuh kembang anak. Saat diobservasi ' I ' yang terlambat bicara tidak merespon panggilan dan suara bel yang dibunyikan Dokter. Ia malah aktif menjelajah ke seluruh ruangan mengamati berbagai benda yang ada. Dokter pun mendiagnosa anak saya Autis dan menyarankan untuk diterapi. Sayangnya dokter tidak bertanya ke saya bagaimana perilaku anak di rumah. Sebetulnya ' I ’ meski belum bisa bicara tapi ia bisa mendengar dan paham perintah bahkan suka bercanda dan perasaannya sensitif. Dia memang lasak, karena selalu ingin tahu apalagi di sebuah tempat baru. Tentang dia ga menoleh saat dipanggil dokter, memang dia suka canggung menghadapi orang yang baru dikenalnya, jadi bukan karena ia tuli.
Penyebab Diagnosa Tidak Tepat
Menurut James T. Webb (2004) dalam bukunya Misdiagnosis and Dual Diagnoses of Gifted Children and Adults, ‘Banyak dari anak-anak yang amat cerdas, kreatif dan mandiri dalam berpikir, mendapatkan salah diagnosa sebagai penderita gangguan perilaku, emosional atau mental seperti ADHD, ODD, Bipolar, OCD dan Asperger. Mereka menerima pengobatan dan konseling yang tidak dibutuhkan. Hal ini terjadi karena para ahli sering tidak bisa membedakan karakteristik anak berbakat yang mirip dengan diagnosa patologis.'
Adapun pendiri ECHA, Joan Freeman (2001) mengungkapkan pengalaman dalam Gifted Children Grown Up, dari hasil penelitiannya sejak tahun 1974, menemukan fakta bahwa 'Ada sebagian potensi Anak Gifted yang tersembunyi tidak terdeteksi dengan alat tes keberbakatan. Cara yang dilakukan Joan Feeman untuk mengetahuinya adalah dengan melakukan interaksi yang intim dengan mereka. Anak-anak yang memiliki bakat berkualitas tinggi tidak pasif, sering kali mereka menjadi sangat terlibat dalam observasi.'
Upaya yang Dilakukan
Agar tidak terjadi salah interpretasi pada karakteristik Anak Gifted hingga menjadi diagnosa patologis. maka sebaiknya para pendidik, orang tua, ortopedagog, psikolog, psikiater dan dokter tumbuh kembang anak berupaya menambah pengetahuan mengenai ilmu Giftedness terbaru.


Anak Terlambat Bicara
Seorang Ibu (A) menghubungi saya, beliau panik karena putranya (H) usia 4 th belum bisa mengucap satu kata pun padahal sudah terapi wicara dan SI sesuai anjuran Dokter tumbuh kembang anak. Saya kemudian berkunjung ke rumah beliau sambil mengamati ulah putranya yang petakilan berlari-lari, berteriak-teriak, mengutak atik beragam mainan sambil menarik kursi dan memanjat untuk mengambil mainan lainnya di rak. Saat H saya dekati dan mengajaknya bicara, ia merespon sambil tertawa lalu menunjukan mainannya dengan wajah ekspresif.
Menurut Ibu A, setiap akan berangkat terapi H tantrum. Saya tanya, “Apa Ibu mendampingi anak saat sesi terapi?” Katanya tidak boleh, jadi menunggu di luar ruang tapi bisa mengintip dari dinding kaca. Beliau sering melihat H berontak saat mulutnya distimulasi pakai alat. Kemudian ia tak bereaksi saat diminta bertepuk tangan. Terapisnya bilang kemungkinan H mengalami ASD karena sering tidak merespon perintah. Ibu A merasa tidak yakin karena H meski belum bisa berbicara tapi memiliki inisiatif dan bila bersamanya sangat kooperatif bisa memahami ajakan, perintah serta bercanda.
Saya meminta Ibu A memutar film kartun yang disenangi putranya lalu mengamati reaksi H. Selama menonton film, H heboh mengoceh dalam bahasa planet, tertawa dan bertepuk tangan sambil jumpalitan di karpet. Ibu A melirik saya dengan ekspresi heran.
Saya menjelaskan mengapa H tidak mau disuruh bertepuk tangan di tempat terapi, karena anaknya cerdas dan memiliki motivasi internal yang kuat, jadi H tidak mau disuruh melakukan sesuatu tanpa alasan. Terbukti dia bisa bertepuk tangan dengan spontan saat menonton film karena sesuai konteks situasi.
Sambil memandangi kehebohan H yang tengah asik bermain sendiri, saya mengobrol dengan Ibu A. Beliau sebelumnya seorang dosen UIN di Sumatera dan sempat melanjutkan studi ke Mesir. Beliau mengundurkan diri dari karir yang sudah dirintisnya sejak gadis, saat beliau hamil dan suami dipindahtugaskan ke pulau Jawa. Kami sempat berbincang tentang kiprah aktivis perempuan muslim di Mesir dan negara lainnya. Ternyata beliau berpandangan terbuka saat membahas issue tersebut. Yang membuatnya kagum atas budaya belajar di kampusnya, para dosen menawarkan diri untuk dihubungi di luar jam kuliah bila mahasiswa merasa kurang paham atas mata kuliah yang diampunya.
Sebelum pamit pulang saya memberi masukan kepada Ibu A untuk memahami kondisi anaknya karena keterlambatan bicara bisa terjadi oleh faktor penyebab yang berbeda baik fisik, psikis maupun lingkungan sehingga membutuhkan penanganan yang berbeda pula. Hambatan berbicara juga akan berlanjut pada kemampuan berbahasa yang rendah sehingga akan berpengaruh erat pada kondisi sosial emosional anak. Karena kondisi organ bicara dan pendengaran H berfungsi baik, kemungkinan H mengalami Specific Language Impairment yaitu suatu gangguan mengekspresikan bahasa lisan tapi kemampuan reseptifnya baik, hal ini banyak dialami oleh anak suspek gifted. Saya menyarankan beliau untuk membaca buku-buku dari Bu Julia Maria van Tiel yang membahas hal tersebut agar dapat memberi perlakuan yang tepat untuk menstimulasi kemampuan bicara dan berbahasa pada H.
Ibu A begitu bersemangat untuk belajar kembali demi anaknya, beliau memesan buku-buku yang saya rekomendasikan serta bersedia mengikuti diskusi yang diadakan komunitas IPAG di Mall FX Sudirman Jakarta pada tahun 2018 dengan narasumber Ibu Julia Maria van Tiel. Dua bulan berikutnya beliau dengan gembira mengabari akan memasukan putranya ke TK karena H mulai bisa mengucapkan kata-kata.

Beberapa Definisi Giftedness dari Para Ahli
-
Joseph Renzulli (1978) dari University of Connecticut mempublikasikan konsepsi ‘The Three Rings’ menyebutkan bahwa, “Keberbakatan pada anak cerdas istimewa (Gifted) mencakup tiga dimensi yang saling berkaitan, memiliki tiga komponen utama yaitu IQ di atas rata-rata. (Very Superior: skala Wechsler => 130 dan Binet => 140), memiliki kreativitas yang tinggi serta motivasi dan komitmen tugas yang tinggi.”
-
Linda Silverman (2004) pendiri The Gifted Development Center di Denver-USA, “Anak Gifted mengalami asinkroni perkembangan dimana aspek kognitif berkembang lebih maju dibandingkan aspek lainnya terutama pada perkembangan bicara dan bahasa serta emosi dan sosialnya.”
-
Susan Baum (2004) Director of The International Center for Talent Development-USA
“Anak Gifted yang mengalami prestasi rendah (underachiever) disebabkan oleh berbagai masalah yang memerlukan pelayanan dan pendekatan khusus.”
-
Franz J. Mönks (1995) President of the European Council for High Ability (ECHA) mendukung konsep Triadik Renzully lalu menambahkan pentingnya kehadiran unsur lingkungan yang positif dalam proses tumbuh kembang seorang Anak Gifted. “Perkembangan kecerdasan seorang Anak Gifted akan stabil dan terwujud dalam bentuk prestasi bila didukung oleh keluarga, sekolah dan lingkungannya.”
-
The Columbus Group (1991), kelompok orangtua anak Gifted, psikolog dan pendidik-US “Giftedness atau keberbakatan istimewa adalah suatu pola perkembangan yang tidak sinkron pada individu-individu tertentu. Dengan kemampuan kognitif sangat maju disertai intensitas emosi yang sangat kuat. Pada akhirnya menciptakan suatu pola pengalaman dan kesadaran dalam diri yang secara kualitatif sangat berbe da dengan anak-anak lain seusianya. Ketidakserasian ini akan meningkat dengan semakin tingginya kapasitas intelektual yang mereka miliki. Keunikan seperti inilah yang pada akhirnya mempersyaratkan adanya suatu pola pengasuhan dan pendidikan yang khusus agar proses tumbuh kembang mereka dapat berjalan dengan optimal.”
-
Kazimierz Dabrowski (1972) psikiater dan psikolog dari Polandia pendiri Institute for Mental Hygiene yang mengembangkan teori Positive Disintegration, “Anak Gifted mengalami overexcitability, memiliki kesadaran dan kapasitas yang tinggi untuk merespon stimulus dari berbagai aspek seperti: sensual, psikomotor, imaginasi, intelektual dan emosional.”
-
Leta Hollingworth (1926) pakar psikologi pendidikan US, “Meski potensi keberbakatan istimewa Anak Gifted adalah sesuatu yang sifatnya menurun tetapi tanpa adanya pola pengasuhan dan ketersediaan lingkungan yang mendukung maka potensi keberbakatan istimewa tersebut hanya akan tinggal potensi, tak akan pernah teraktualisasi.”
-
Sidney P. Marland, (1972) Pejabat Dinas Pendidikan US, “Anak berbakat adalah mereka yang diidentifikasi oleh ahli yang profesional sebagai memiliki kemampuan yang menonjol untuk berkinerja tinggi dalam kemampuan intelektual umum, bakat akademik spesifik, kemampuan berpikir kreatif atau produktif, kemampuan kepemimpinan, seni pentas atau seni rupa dan kemampuan psikomotor . Anak-anak ini memerlukan program pendidikan dan/atau pelayanan yang dibedakan, melebihi yang biasa disediakan oleh program sekolah reguler, agar dapat merealisasikan kontribusinya terhadap dirinya sendiri maupun Masyarakat.

Sang Maestro
Sahabat…
Sebuah mahakarya
Takkan hadir dari ruang hampa
Siapa sangka
Sebutir mutiara indah tercipta
dari lambung tiram yang terluka
Aku tahu
Ketika orang lain lelap tertidur
Engkau mengisi malammu dengan tepekur
Sebab benakmu berpusar bak sirkuit
yang dipadati ide-ide berlintasan
dan kau berusaha mengurai menjadi keniscayaan
Sahabat
Memang tak mudah mewujudkan gagasan
di tengah masyarakat yang alergi pada perubahan
Ketika orang-orang menatapmu sinis
Engkau berpeluh menggali dan merekatkan batu fondasi
Ketika orang-orang melontarkan cibiran
Engkau mengerahkan daya memperkokoh tiang konstruksi
Ketika atap dipasangkan menjadi naungan
Engkau ajak berteduh orang-orang yang dalam ketidakberdayaan
Tak lupa engkau sajikan hidangan bergizi penambah pengetahuan
Lalu kau kobarkan semangat memperjuangkan
Hak Anak karunia Tuhan
(Yeni Sahnaz-Noble Academy-Jakarta 23-11-2024)

Dewasa Gifted Ada Di Mana
Sebuah artikel berjudul ‘Giftedness In Adults’ yang ditulis oleh Rianne Van De Ven dalam ECHA-News-vol-36-no-2-2022 telah menggugah kesadaran betapa ilmu Giftedness amat dibutuhkan oleh masyarakat. Rianne yang lahir di Belanda pada tahun 1971 merasa begitu heran ketika baru memahami dirinya sebagai individu Gifted pada usia 33 tahun. Hal itu terjadi karena kurangnya sosialisasi ilmu Giftedness serta program pendidikan untuk Anak Gifted di Belanda baru dimulai pada awal tahun 2000.
Sekian lama Rianne tidak menyadari potensi yang dimilikinya, seingatnya di sekolah ia hanya dikenali sebagai anak cerdas. Masyarakat saat itu berasumsi bahwa anak seperti dirinya tidak membutuhkan dukungan karena segalanya akan berjalan lancar tanpa kendala. Akhirnya ia menyesal ketika gagal menuntaskan jenjang pendidikan tinggi. Meski begitu ia bisa berkarir di bidang Telekomunikasi dan Perbankan, tapi ke mana potensi tinggi yang dimilikinya?
Rianne pun bertanya, ‘Bagaimana kabar terkini generasi Gifted seangkatannya sebelum era tahun 2000?’ Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab meski dipastikan individu Gifted terus dilahirkan dalam setiap generasi tapi mereka sulit diidentifikasi karena tidak ada sistem yang mendata.
Menjadi individu Gifted tidak sekedar dianugerahi intelegensi yang tinggi tapi juga memiliki karakteristik unik yang beresiko. Bukan hal mudah, sepanjang hidupnya ia harus menyesuaikan diri di tengah derap kehidupan individu Neurotypical yang mayoritas populasi, apalagi tanpa didukung pengetahuan Giftedness. Tidak sedikit konflik yang dialami baik dalam dunia profesi serta kehidupan sehari-hari yang bisa menimbulkan rasa frustasi, stress dan depresi.
Keprihatinan yang dirasakan Rianne mendorongnya untuk menolong para Dewasa Gifted hingga ia meninggalkan karir yang tengah ditekuni. Ia memutuskan menjadi volunteer pada lembaga Gifted Adult Foundation, sebuah lembaga yang didirikan oleh Noks Nauta dan Maud van Thiel.
Selanjutnya Rianne melebarkan sayap dengan mendirikan Lembaga yang bergerak mendukung Dewasa Gifted dalam konseling karir, pembinaan, program re-integrasi dengan pemerintah dan layanan rekrutmen untuk perusahaan yang ingin mempekerjakan karyawan berbakat.
Pada tahun 2016 Rianne bergabung ke dalam ECHA (European Council for High Ability) untuk menjadi Spesialis Pendidikan Gifted. Selama terlibat dalam pelayanan, penelitian serta penulisan buku mendorong Rianne untuk menuntaskan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.
Bravo Rianne !!
--------------
Mari berpaling ke negara kita Indonesia. Apa kabar para Dewasa Gifted ?
Setelah menerbitkan buku GIFTED pada awal tahun 2013, saya mendapat banyak surat dari para orangtua di berbagai pelosok tanah air dan luar negeri. Mereka mencurahkan permasalahan tumbuh kembang anaknya yang membingungkan.
Hati saya benar-benar tersentuh dan turut memikirkan apa yang mereka alami. Hingga terbersit dalam benak untuk mengajak para orangtua Anak Gifted menulis buku bersama dengan tujuan menyuarakan permasalahan agar mendapat perhatian dari para pengambil kebijakan, para ahli serta masyarakat luas hingga mendapat solusi terbaik.
Saya mengajak 10 orang tua yang tergabung dalam Komunitas Indonesia Peduli Anak Gifted untuk bersuara dengan menyumbangkan kisah tumbuh kembang anaknya dalam buku Antologi Anak Gifted. Dua orang penulis berdomisili di Amerika,1 orang di Belanda dan 1 orang di Inggris. Tujuh orang lainnya termasuk saya berdomisili di Indonesia tapi berlainan kota.
Buku Antologi Anak Gifted diterbitkan oleh Grasindo pada tahun 2014. Salah satu penulis yaitu Ibu Fitri Anggraini yang tinggal di US menyumbang buku AAG ke pelosok tanah air melalui lembaga 'Indonesia Mengajar.'
Buku Antologi Anak Gifted

Bersama penulis Ibu Yanti Herawati

Anak Gifted Ada dan Nyata
Pada 21 Juni 2019 saya menghadiri acara Noble Talk & Exhibition di #NobleAcademy, sebuah lembaga pendidikan Anak Gifted & Talented di Neo Soho-Central Park Jakarta. Benar-benar takjub dan terharu melihat penampilan anak-anak usia 8 sd 15 th, saat presentasi mereka berbicara dengan ekspresif , bernas dan fasih dalam bahasa Inggris layaknya para pembicara di #Tedxtalks
Gagasan yang mereka usung terkait Sustainable Development Goals yang merupakan tantangan global seluruh penghuni bumi di masa depan. Kondisi bumi seperti apa yg akan kita wariskan kepada para anak cucu nanti jika kita tidak merawatnya sebaik mungkin? Bukankah sudah terbukti kerusakan lingkungan saat ini akibat keserakahan dan ketidak pedulian umat manusia?
Berlanjut saya melihat hasil projek para murid yang tertuang dalam makalah, bikin tambah berdecak kagum mengingat latar belakang mereka mayoritas sempat bersekolah di sekolah reguler dan di sana mereka mendapat penolakan serta dibully dan dilabeli buruk. " Anak Ibu sebaiknya disekolahkan di SLB saja bukan di sini, " ujar seorang guru kepada orangtua yang anaknya dilabeli bodoh dan adhd oleh pihak sekolah. Beberapa anak lainya mendapat diagnosa ahli sebagai mental disorder.
Saat rehat saya berhadapan dengan dua anak yang asik berdiskusi tentang Artificial Intelligence, tambah seru karena masing2 berargumen dari perspektif berbeda. A berargumen bahwa robot dapat mengambil alih peranan manusia di muka bumi dan B menyatakan robot sebagai karya manusia tidak akan mampu melakukanya karena tidak memiliki ‘Spiritual part of a human being.’ Dengan perbedaan perspektif keduanya saling menghargai lawan bicara, tidak terbawa emosi tinggi, dalam ekspresi keremajaan yang jelas terlihat saat saling melempar senyum. Uniknya kedua anak tersebut baru saja berkenalan, mampu berbahasa Inggris dengan fasih dan di sekolah regular mendapat perlakuan buruk.
Seorang bocah berkacamata menghampiri saya sambil memberikan sekotak susu. Ia lalu duduk di samping saya. Sambil mengucap terimakasih saya tanya projeknya apa? " Hm..Species Crisis.." Ia berujar sambil tersenyum dan pamit jalan2 ke sudut ruangan.
Duh ternyata mereka anak-anak yang ceria, ramah dan santun. Lain halnya bila mereka mendapatkan perlakuan yang buruk dari lingkungan. Masih adakah senyuman dan keceriaan?
Anak Gifted, mereka nyata, mereka ada, Tuhan menganugerahi mereka kemampuan berfikir tinggi, kritis, kreatif, analitis, intens dan sensitif. Ayo kita bantu mereka menemukan jatidirinya, mengaktualisasikan potensinya menjadi karya yg bermanfaat serta berikan hak mereka untuk hidup bahagia karena mereka rentan mengalami bullying, depresi dan melakukan bunuh diri.


Bertemu Anak Gifted
Sehabis magrib saya menuju sebuah ruang untuk menikmati makan malam bersama para Guru Cugenang Gifted School yaitu sekolah yang berlokasi di Cianjur didirikan oleh Bapak Rikrik Rizkiyana seorang Advokat. Pada hari itu saya menginap untuk keesokan harinya menjadi narasumber pada seminar yang diselenggarakan sekolah tersebut.
Di samping meja kami ramai oleh celotehan para murid yang juga tengah makan malam. Suara mereka terdengar nyaring bersaing dengan suara televisi yang ada di hadapan mereka tapi tak seorang pun tertarik menyimak acara yang tengah berlangsung. Tiba-tiba seorang bocah masuk ke dalam ruangan lalu berdiri di dekat TV berjarak tak lebih dari 1 meter dalam posisi tubuh miring. Matanya fokus menatap layar TV.
Ruang makan menjadi sepi setelah para Guru dan murid kembali ke aktivitas masing-masing, tinggal saya dan bocah yang masih asik menonton TV. Saya mendekatinya, menanyakan namanya lalu mengajaknya agak menjauh dari TV.
S : “B..kenapa engga makan?”
B: “Sudah tadi,” B menjawab singkat sambil matanya tetap fokus menatap TV.
S: “B senang menonton acara apa di TV?”
B: “Berita….”
Saya tertegun mendengar jawaban B. Memang TV tersebut khusus hanya menayangkan berita, tapi B tetap serius menyimaknya. Suatu keganjilan untuk bocah usia 10 tahun yang biasanya hanya tertarik pada acara hiburan saja.
Esoknya saat sarapan saya bertanya tentang B kepada seorang Guru Perempuan Ibu R. Beliau mengatakan bahwa Ayah dan Ibu B bercerai, ia tinggal bersama neneknya yang hidup berkekurangan. Ibunya pergi bekerja ke luar negeri menjadi TKW dan ayahnya pergi entah kemana. B berusia 10 tahun memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, ia senang membaca dan selalu bertanya berbagai hal. Ia senang pelajaran IPA dan tekun mempelajari anatomi tubuh manusia sampai hapal.
Pertemuan dengan B terjadi pada tahun 2014, saya tidak mengetahui kabar B selanjutnya. Semoga B berhasil meraih cita-cita luhurnya untuk menjadi seorang Dokter.
Batin saya mengatakan bahwa B benar-benar sosok Anak Gifted yang memang terlahir membawa gen kecerdasan yang amat tinggi. Mereka telihat tidak hanya dari skor IQ yang tinggi, tapi dari rasa ingin tahu dan motivasi internalnya yang juga tinggi. Sebagaimana Joan Freeman katakan, ‘Anak Gifted memiliki sebagian kualitas keberbakatan yang tidak terdeteksi oleh alat tes.’

Testimoni Ibu
***Satu***
Saya pernah begitu sedih karena kedua anak saya seringkali ingin segera mati dan masuk surga karena di sana boleh melakukan apa saja. Bu Yen, sungguh saya berterimakasih dengan hadirnya buku Ibu, saya terasa lebih lega dan merasa tidak sendiri apalagi ketika harus ke sekolah karena anak-anak 'bermasalah'. Selama ini saya dianggap 'rese.’ Sekali lagi makasih Bu Yen. Semoga jadi ladang amal Ibu dan Bowo.
Saya sedang baca buku Ibu GIFTED baru mulai, tapi semakin dalam saya seperti memutar kembali film masa kecil anak saya, mirip termasuk soal membenturkan kepala. Pernah konsul psikolog, setuju dengan pendapat saya bahwa anak saya kemungkinan Gifted. IQ nya saat itu 126 (dalam keadaan tertekan dan percaya diri yang ambruk) menurut psikolog masih bisa 134. Saat ini menjelang masuk SMP, saya masih galau soal memilih sekolah. Kalau mau sharing dengan Ibu via apa ya enaknya? Email atau apa? Kalau anak saya ingin kontak dengan Bowo via apa ya? Terimakasih sebelumnya.
(Surat ini dikirim seorang Ibu berprofesi Dokter di Jawa Timur pada tahun 2013 setelah buku saya GIFTED terbit. Saat ini kedua putranya sudah lulus dari ITB).
***Dua***
Salam kenal Bu Yeni. Saya baru mendengar istilah Gifted lalu mencari-cari informasi hingga terhubung ke Ibu. Selama ini saya sudah membawa anak saya konsul ke beberapa ahli psikolog, psikiater dan hipnoterapis. Gejala yang terlihat adalah dia sangat sensitive, menarik diri seolah fobia berada di keramaian. Yang saya cemaskan saat dia yang sedang sekolah di luar negeri mengirim pesan, ‘Mama…maafkan aku…udah ga kuat..aku mau pergi.’ Saat saya tanyakan keberadaannya ternyata ia malam itu sedang di pantai sendirian.
(Ibu L adalah istri dari Guru besar di sebuah PTN, Beliau menyempatkan diri menemui saya di Bogor).
***Tiga***
Saya lelah Bu, sudah berputar-putar ke beberapa ahli, anak saya mendapat diagnosa berbeda dan sudah diterapi macam-macam tapi tidak ada perubahan. Saya juga pusing mencari sekolah untuknya karena semua menolak. Kemarin tanpa sadar saya menggebrak kap mobil.
(Ibu muda tersebut bertemu saya sambil menyodorkan telapak tangannya yang biru lebam. Ia membawa putranya usia 5 tahun yang sangat aktif, lengkap dengan baby sitter dan orangtuanya).

My Gifted Boy
Hari ini di sebuah toko buku, aku seperti dituntun Allah untuk bergerak ke arah rak tempat buku-buku psikologi. Mataku mencari-cari dan tiba-tiba sebuah buku menarik minatku. GIFTED, karya Yeni Sahnaz. Buku yang menceritakan perjuangan seorang Ibu yang anaknya sangat berbakat. Telah cukup lama aku mencari referensi untuk memahami Apa dan Siapa anak bungsuku, Arya.
Psikolognya mengatakan, "Anak Ibu Emas, maka Ibu harus emas juga mendidiknya. IQ nya di range, very superior sampai jenius. Dia tak bisa disuruh di belakang, tapi dia berjalan di depan ibu dan keluarga yang lain. Dia lebih tua dari umur sebenarnya, jangan heran bila kata-katanya sok tua. Karena kecerdasannya yang luarbiasa hingga semua indranya sangat peka menangkap berbagai isyarat dari sekelilingnya." Subhanallah.
Ternyata kecurigaanku selama ini terbukti. Arya istimewa. Sejak bayi celotehannya banyak, Di usia 2 tahun sudah bisa membuat sketsa, memegang alat tulis sudah benar. Hobinya rancang bangun. Di usia tiga tahun membuat sebuah kota lengkap dengan fasilitas mesjid, stasiun, bandara, terminal rumah-rumah dan taman dari aneka mainan yang sangat sederhana. Ditambah kardus-kardus yang dibentuknya sendiri. Membuat jalan yang panjang dan berkelok dari dus bungkus rokok hanya untuk meluncurkan kelereng. Termotivasi dari keinginannya memiliki mainan jembatan yang cukup mahal. Botol coca cola dan aqua bisa dalam sekejap jadi roket.
Tiba saat masuk TK, ternyata hanya bertahan seminggu. Setelah itu mogok. Alasannya " Ga suka, bu guru ngomong terus". Kami sangat sedih dan kecewa. Dicoba masuk TK yang lebih ramah anak, hanya bertahan tiga hari, karena semua kegiatan tak menarik minatnya.
Kembalilah ke rumah dengan tumpukan kardus yang dirubahnya jadi apartemen, jembatan, mobil, kapal sampai bentuk-bentuk orang dengan berbagai ekspresi, diberinya pegangan dari tusuk sate. Dibantu oleh satu gulung selotip tiap hari. Karyanya aneka ragam. Menggambar dengan pensil dan spidol dengan bentuk-bentuk yang mencengangkan untuk anak seusianya. Gambar-gambarnya futuristik. Mobil dengan knalpot naik ke atas, roket, satelit, binatang dan gambar kepala dengan mimik lucu. Di usia 5 tahun sudah bisa membaca dan menulis, belajar nyaris tanpa dibimbing. Berhitung sampai seratus hapal dalam sekejap, dan dengan isengnya menghitung mundur tanpa kesalahan.
Kami baru memiliki komputer pada saat usia Arya 4 tahun, dan Subhanallah...cepat sekali ia belajar hanya dengan melihat kakaknya mengerjakan tugas atau main game. Dia eksplore semua program tanpa rasa takut atau gaptek. Kami tercengang, dia mampu mengoperasikan dengan sangat baik. Menghias fotonya sendiri dengan gambar yang lucu, mengupload, memilah-milah dokumen. Sementara bahasa komputer memakai bahasa Inggris. Sekarang Arya adalah kamus pintarku untuk semua urusan komputer. Dia sering membantuku pada saat menulis cerita pendek.
Ketika tiba usia sekolah ke SD, Arya menolak lagi. Aku sudah mulai pasrah. Karena referensiku tentang anak berbakat cukup lumayan. Kupikir, suatu saat kalau hatinya sudah tergerak untuk sekolah, dia bisa mengejar ketinggalannya. Dan eksplorasinya pada segala hal makin menjadi-jadi. Dia menyukai Metro TV, sampai-sampai hapal siapa Gayus Tambunan, lumpur Lapindo. bank Century dan komentarnya sering membuatku takjub.
Dua hari yang lalu Arya membuat sebuah pesawat dengan bahan dus bekas minuman. Dia mengatakan, “ Mama ini pesawat untuk segala hal, untuk perang ,untuk TNI, untuk penumpang..dan kalau ada di laut dia bisa jadi kapal selam.” Aku menciumnya, dan mengusap kepalanya diiringi doa mengaminkan cita-citanya.Sungguh besar kasih sayang Allah padaku hingga terpilih untuk mengasuh anak multi talenta seperti Arya. Kapal itu sangat lengkap dengan moncong senjata dan semua bagian begitu detailnya. Kelebihan Arya adalah mampu merekam apapun yang dilihat dan didengarnya kemudian memvisualisasikannya lewat gambar atau replika.
Jika bicara selalu memakai kalimat simbolis atau teka-teki. Sense of musicnya membuatku makin takjub. Lagu Michael Jackson sudah bisa dia nyanyikan dengan cengkok yang pas di usia 4 tahun. Lagu Linking Park, hapal di usia 6 tahun. Kumpulan lagu di hp nya terus bertambah, Maroon 5, One OK Rock. Dari mulai senang berceloteh, Arya sangat menyukai bahasa Inggris. Hingga kata-kata yang dia ucapkan harus selalu ditranslate kedalam bahasa Inggris. Nanti tiba-tiba dia mengeluarkan kalimat yang lengkap, digabung dari kosakata yang dia hapal..amazing. Satu hal saja, apa yang aku rasakan diapun merasakannya. Terkadang lebih gelisah. Karenanya aku selalu mencoba terus bersabar, agar aura itu sampai pada Arya.
(Tulisan Bu Tiktik Rusyani, seorang sastrawati Sunda 2013).
Testimoni Dewasa Gifted
***(Satu)***
Saya sudah membaca buku GIFTED, beruntung Mas Bowo memiliki Ibu yang mampu memahami kondisi dirinya. Berbeda dengan saya, sejak SMP saya sudah shopping ke psikolog dan psikiater sampai mengkonsumsi obat antidepresan bertahun-tahun. Lelah rasanya hidup tanpa ada yang memahami pikiran saya, termasuk orang tua.
Akhirnya saya terdorong kuliah di jurusan psikologi, ya untuk bisa memahami apa yang terjadi dengan diri sendiri. Selanjutnya saya ingin mengamalkan ilmu kepada orang lain, tapi saat saya bekerja sebagai dosen, dengan semena-mena pihak kampus memecat saya dengan alasan tidak masuk akal. Saat itu saya mendesain cara mengajar yang menyenangkan hingga mahasiswa saya pada semangat saat kuliah bersama saya. Ternyata kampus menganggap saya lancang, tidak menjalankan aturan yang ditetapkan.
(Atas seijin Allah, saya bertemu dengan Ibu muda tersebut di suatu tempat berjarak 1000 km dari rumah. Saya dioleh-olehi novel karyanya yang sangat bagus, namun tidak dipublikasikan).
***(Dua)***
Saya sempat merinding membaca buku Gifted. Di Indonesia, anak2 Gifted jarang mendapat perhatian lebih dari orang tua dan keluarga. Mereka cenderung mengabaikan, meremehkan, bahkan menganggap gila anak-anak gifted. Saya mengalaminya sejak kecil, saya harus berjuang keras untuk bisa menormalkan diri saya salama bertahun-tahun, sampai Alhamdulillah, akhirnya saya bisa selesai S2.
Fenomena yang ada adalah, keluarga justru menekan anak-anak Gifted, sehingga mereka dibiarkan sendiri. Kecenderungan yang ada, mereka akan merasa tertekan dan alami depressi yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan sikap anti sosial begitu mereka besar. Saya mengalaminya.
Alhamdulillah sejak usia 5,5 tahun, sejak saya dibiarkan sendiri di bangku belakang sebuah perahu wisata yang berjarak 2 meter dari bangku di depannya, sementara orang tua sy bercengkrama dengan orang lain. Saya sudah berikrar hanya Allah penolong dan sahabat saya, makanya saya selalu dibimbing dan dijaga oleh-Nya. walau harus berderai air mata menghadapi semuanya sendiri sejak kecil, tapi saya bisa melaluinya.
Sejak kecil saya bisa berkomunikasi dengan alam lain, dimana orang awam akan menganggap saya mengidap skizofrenia. Saya sering melihat hal-hal yang tidak masuk akal dan mencoba meyakinkan serta menjelaskan kepada orang-orang dewasa saat itu termasuk guru-guru SD dan SMP saya. Tapi tanggapan mereka dingin, bahkan sempat mengatakan saya gila.
Sering saya mengalami tekanan batin hebat karena tanggapan dan sebutan itu. Biasanya saya selalu menuangkan rasa sedih dan gundah saya lewat menggambar menggunakan pensil. Juga lewat musik (kenapa musik, karena saya selalu mendengarkan musik saat gelombang otak saya bersentuhan dengan gelombang energi dari alam lain). Sangat mengganggu karena kejadiannya selalu sebelum tidur, dimana saya bisa mendengar suara-suara ‘mereka’ yang sedang mengobrol dari berpuluh-puluh meter jauhnya. Makanya sejak kelas 4 SD saya memutuskan untuk mulai menyukai segala macam musik hingga kini, hanya agar bisa meneteralkan semua itu.
Balik lagi ke depresi yang berlebihan membuat anak tumbuh menjadi pribadi pemberontak, bahkan anti sosial. Mereka cenderung suka dengan hal2 yang berbau riot seperti "tawuran," hanya untuk mendapatkan perhatian orang lain. Anak tersebut kemudian dikenal dengan nama ‘Tuna laras.’ Inilah yang menjadi topik dari thesis saya ‘Tuna Laras, musik, menggambar, depressi sejak kecil.’
Oleh karenanya saya akan sangat berbahagia bila Ibu Yeni bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan saya dari sudut pandang orang tua karena mendampingi Anak Gifted seperti Ibu dan Bapak, harus punya kesabaran dan keteguhan hati yang besar. Kalau boleh, saya ingin bisa belajar dari Ibu.
Semoga Ibu berkenan. Lebih dan kurangnya saya ucapkan terima kasih banyak.
(Surat ini dikirim pada tahun 2013 oleh seorang gadis berdomisili di Jakarta, setelah ia membaca buku GIFTED. Saat ini beliau sudah berkeluarga dan menjadi Kepala Sekolah di Sekolah Internasional di Jakarta).
Testimoni Bapak
***(Satu)***
Saya baru saja membaca buku GIFTED, benar-benar membuka wawasan baru. Sungguh selama ini saya tidak paham pada perilaku puteri saya. Ia sudah mencoba 5 jurusan kuliah berbeda, bersyukur yang terakhir dia tekuni sama dengan profesi saya.
Memang saya akui ia sangat cerdas, sejak kecil ia amat suka membaca dan cepat mencerna isi buku. Ketika saya sodori buku Bu Yeni, ia membacanya dalam sekejap padahal saya sampai berhari-hari. Dia senang berdiskusi dengan saya dan mengungkapkan pandangannya dengan bijak. Tapi ia amat temperamen, jika marah meledak-ledak seperti bocah yang sedang tantrum.
(Surat ini dikirim oleh seorang Bapak pada tahun 2013 setelah buku saya GIFTED terbit. Beliau seorang Guru Besar di PTN Jakarta).
***(Dua)***
Di dunia psikologi (yang terpaksa tak pelajari) dikenal gejala GLD (US), atau di Aussi dikenal dengan anak dengan 2 keistimewaan (mbuh bahasa Inggrise lali). Aku kenal istilah itu sekitar 5 tahun lalu, saat anakku "bermasalah" dengan sekolahnya (saat kelas 1 SMA). Saat saya test psikologi IQ-nya lumayan 134 (padahal sebelum test, dia begadang sampai jam 3 an).
Saat SD, pernah tet IQ-nya 140. Saya sih nggak terlalu percaya saat itu tentang IQ anakku (mungkin hasilnya ketuker sama temennya kali). Karena hasil belajarnya papan bawah melulu. Cuma ketika SMA masih tetep masalah dan tak tes hasilnya tetap tinggi, timbul penasaranku. Psikolog sebetulnya tidak cerita tentang kelainan itu. Karena penasaran, aku cari mbah Google tentang apa sih IQ itu.
Nah di tengah pencarian itu aku menemukan artikel tentang gejala Gifted Learning Disability (GLD). Ketika tak lihat gejala yang disampaikan sejak kecil, saya merasa sudah sangat pasti anakku mengidap gejala GLD ini. Explorasipun berlanjut terutama saya dapat banyak informasi dari internet.
Sayang, ketika tak sampaikan ke banyak pihak (mulai guru, kepala sekolah, pengurus sekolah, teman, dll) tidak banyak orang peduli tentang gejala ini, padahal "kerugian"nya luar biasa besar. Akhirnya saya hanya berwacana di keluarga saya saja... bahwa anak ini punya kelainan yang harus diperhatikan dan ditangani secara khusus.
Saya sebetulnya sudah pada tataran "males" membahas ini. Tetapi ketika membaca buku GIFTED, saya optimis yang dihadapi Mbak Yeni adalah anak GLD. Karena sepemahamanku, anak Gifted nggak ada masalah, yang masalah adalah anak GLD (dan ada yang memprediksi sekitar 20 % anak gifted adalah GLD).
Yang pasti anak GLD adalah anak yang "cacat" dari sononya. Jadi bukan kesalahan pendidikan karakter dan bukan kesalahan dia. Dan karena kecacatannya harus dibantu untuk mengurangi efek negatifnya.
(Surat ini dikirim seorang Bapak dari kota Cilegon. Beliau menyimpulkan anaknya mengalami GLD alias 'cacat').
Seorang remaja cantik bernama V turut menyemarakan acara Graduation & Seminar, ia naik ke atas panggung menyanyikan lagu ‘My Way’ yang mengalun dengan suara indah. Menjelang reff suaranya terhenti bernyanyi dengan tubuh miring ke kanan dan mematung kaku disertai pandangan kosong. Saat itu saya ingin sekali berlari menujunya, memeluknya dan menemaninya menyelesaikan lagu. Tak lama tim acara menuntun V turun dari panggung.
Usai saya menjadi narasumber, V dan ibunya menghampiri saya. Uluran tangan saya kepada ke V disertai kalimat penyemangat dibalas oleh V dengan suara lirih dalam bahasa Inggris.
Ibu V curhat dengan nada suara penuh rasa khawatir tentang kendala yang dihadapi V yakni sifat perfeksionis. V selalu ingin sempurna dalam melakukan sesuatu, hal itu sering membuatnya tidak PD dan membuatnya stress, seperti peristiwa yang baru saja dialaminya saat bernyanyi
“V tidak bermasalah dalam akademik, tapi ia kesulitan berbahasa Indonesia. Sejak kecil ia berbahasa Inggris tanpa ada yang mengajari. Apa V sebaiknya saya pindahkan lagi ke sekolah regular?” Tanya Ibu V.
Saya memberi masukan tentang karakteristik perfeksionisme pada anak gifted yang bisa menuntun ke arah positif dan juga negatif yakni faalangst/fear of failure atau takut gagal yang akan berpengaruh pada melemahnya konsep diri hingga berlanjut pada gangguan psikis dan fisik. Peran orangtua amat dibutuhkan agar anak terhindar dari kondisi faalangst negatif.
Istilah Faalangst dikenalkan oleh Ibu Julia Maria van Tiel berdasarkan referensi berbahasa Belanda yang banyak digunakan dalam penulisan buku-bukunya.
Faalangst






Memahami Depresi Eksistensial
pada Individu Gifted
Individu Gifted, di Indonesia dikenal sebagai individu Cerdas Istimewa dan Berbakat Istimewa (CI+BI). Mereka memiliki fitur psikologis dengan kemampuan intelektual dan kreativitas tinggi, kehidupan batin yang kaya, sensitive, perfeksionis, disertai emosi yang kompleks dan intens. Sifat-sifat tersebut membentuk kepribadian sebagai seorang idealis yang begitu serius dan mendalam ketika merespon isu moral dan sosial.
Bahkan sejak usia muda, Individu Gifted sudah merasakan keprihatinan atas kondisi dunia yang absurd penuh konflik dan tragedi: peperangan tiada henti, kemiskinan, ketidakadilan, kemunafikan, kecurangan, kurangnya empati dan kasih sayang terhadap sesama serta hilangnya kepedulian terhadap lingkungan hidup. Mereka dengan cepat menyadari bahwa dirinya tidak cocok dengan pemikiran arus utama atau dengan teman-teman, tokoh otoritas, lembaga agama dan budaya. Beban pikiran berat yang disandang Individu Gifted tersebut menimbulkan kegelisahan yang berujung pada gangguan fisik dan psikis.
Kemampuan berfikir tingkat tinggi yang dimiliki Individu Gifted menuntunnya pada pertanyaan besar tentang keberadaan dirinya dan alam semesta. Mereka kesulitan untuk menemukan makna hidup yang sesungguhnya karena melihat kontradiksi antara realita dengan idealisme yang mereka usung. Akhirnya mereka merasa terasing lalu berujung pada perasaan frustasi dan putus asa. David N. Dixon melihat karakteristik unik yang dimiliki Individu Gifted tersebut sebagai faktor resiko bunuh diri.
Contoh Kasus
Dalam perbincangan bersama orangtua yang tergabung dalam Komunitas Indonesia Peduli Anak Gifted, saya menangkap kekhawatiran mendalam dari mereka karena anaknya yang berada pada rentang pendidikan Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, kerap berbicara tentang kematian yang diucapkan secara emosional, diantaranya:
***Keinginan meninggalkan kehidupan dicetuskan oleh I kelas 4 SD yang nampak tidak bahagia, "Aku mau mati saja," keluh I. Setiap pulang sekolah ia terlihat sedih, menurutnya tidak ada teman yang sehati, ia sering diolok-olok oleh teman-temannya. Kondisi tersebut berpengaruh pada prestasi akademik serta mental yang menurun hingga menjadi murung, sulit tidur dan sulit makan. Di luar jam sekolah, I yang menyukai sains menyibukan diri dengan membaca serta mengutak-atik akuarium yang dibuatnya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk berbaur dengan anak-anak sebaya di sekitar rumahnya.
***Seorang remaja putra bernama F putus sekolah dari sebuah SMP favorit meski pencapaian akademiknya tinggi. F cenderung temperamen, ia mudah tantrum di mana saja dan di hadapan siapa saja bila menghadapi sesuatu hal di luar ekspektasinya karena ia menetapkan standar yang tinggi. F sudah mencoba mengahiri hidup dengan melompat dari gedung sekolah dan menyayat nadi di lengannya. F amat senang membaca beragam buku mulai dari agama, filsafat, sains juga politik. Dalam keseharian F hanya mengurung diri di rumah, tepatnya di kamarnya. Ia tidak seperti remaja lainnya yang senang mengadakan kegiatan di luar rumah bersama-teman-teman.
***"Mama maafkan aku...aku sudah ga kuattt... selamat tinggall.." Samar-samar terdengar suara bergetar dari seorang pemuda bernama R menyapa ibunya dari jarak beribu kilometer. Saat itu R tengah malam berada di pantai sendirian dan sudah bersiap untuk mengakhiri hidup. Sang Ibu membujuk dengan berjanji untuk secepatnya menemui R yang tengah menimba ilmu di sebuah Universitas negeri matahari terbit. R menyambut kedatangan ibunya dengan wajah murung, cemas, sulit diajak berkomunikasi dan tidak mau diajak ke luar rumah.
***"Saya pernah begitu sedih karena kedua anak saya H dan M seringkali bicara ingin segera mati dan masuk surga karena di sana boleh melakukan apa saja. Bu Yen, sungguh saya berterimakasih dengan hadirnya buku Ibu, saya terasa lebih lega dan merasa tidak sendiri apalagi ketika harus ke sekolah karena anak-anak bermasalah. Selama ini saya dianggap rese."
***Seorang remaja putri bernama S amat cerdas, ia meraih prestasi tinggi di sekolah dan terpilih menjadi ketua OSIS. S juga cakap bermain alat musik dan bernyanyi yang dipelajarinya secara otodidak sejak SD.
Di balik segala kelebihannya, emosi S sering meledak-ledak hingga membuat keluarga ketakutan. Suatu saat S pernah marah lalu memanjat atap balkon di lantai dua rumahnya dan bersiap untuk terjun bebas ke bawah.
***Salah satu kasus dari Amerika diceritakan oleh seorang Ibu bernama Rhonda Elkins dalam buku yang ditulisnya, 'My Bright Shining Star: A Mother True Story of Brilliance, Love & Suicide.' Kisah nyata tentang putrinya Kaitlyn, seorang gadis yang cerdas, penuh kasih dan sangat berbakat di bidang seni dan sastra. Namun, di balik senyum hangatnya dan serangkaian pencapaiannya yang mengesankan dalam bidang akademik sebagai lulusan terbaik saat SMA dan Perguruan Tinggi, mengintai rahasia kelam depresi; Sesuatu yang ia sembunyikan dengan amat baik dari semua orang yang mengenal dan mencintainya.
Gejala depresi yang dirasakan Kaitlyn sebetulnya sudah terlihat saat ia menjadi siswa baru di SMA khusus anak-anak berbakat di bidang sains dan matematika. Sekolah berasrama tersebut diidamkan Kaitlyn sejak lama; Selain gratis ditambah keistimewaan lainnya yakni para siswa akan mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke Universitas ternama.
Namun Kaitlyn hanya sesaat menikmati kebahagiaan setelah lolos seleksi dari 1000 kandidat. Dua minggu sejak dimulainya masa pembelajaran, ia mengundurkan diri karena "Merasa terasing," itulah alasan yang diucapkan Kaitlyn kepada ibunya. Sebuah alasan yang tidak dianggap serius oleh Rhonda, bagaimana mungkin seorang remaja merasa kesepian di tengah 300 orang teman-teman barunya? Rhonda mengira putrinya hanya merasa galau karena baru pertama kali terpisah jauh dari keluarga serta masih dalam peralihan dari fase remaja menuju dewasa.
Rhonda tak pernah menduga jika putrinya Kaitlyn yang selama ini wajahnya selalu berbinar memancarkan aura kebahagiaan, ternyata menahan tekanan psikologis hingga kekuatan Kaitlyn akhirnya runtuh, ia memilih mengakhiri hidupnya pada usia 23 tahun saat menempuh pendidikan kedokteran. Dalam surat perpisahan yang ditujukan kepada orangtuanya, Kaitlyn memberitahu bahwa ia amat lelah sepanjang hidup merasakan kecemasan dan kesedihan. Ia telah berupaya menyembunyikan depresi demi melindungi perasaan keluarga.
Pendapat Ahli
Apa yang terjadi pada I, F, R, H, M, S dan Kaitlyn adalah contoh kasus Depresi Eksistensial yakni depresi yang dipicu oleh perenungan filosofis tentang makna dan tujuan hidup yang banyak dialami oleh Individu Gifted. Beberapa ahli keberbakatan sudah lama menguak fenomena tersebut yang dipicu oleh faktor kuatnya karakteristik unik Individu Gifted.
Leta Hollingworth pakar Giftedness dan pelopor berdirinya sekolah untuk Anak Gifted di Amerika, mengamati dan mencatat dalam bukunya Gifted Children: Their Nature and Nurture, bahwa semakin cerdas seorang anak, ia memiliki kondisi emosional khusus dengan idealisme tinggi dan amat peduli pada masalah keadilan. Untuk itu mereka harus mendapatkan pendampingan dalam pendidikannya.
Menurut James T. Webb dalam bukunya "Searching for Meaning: Idealism, Bright Minds, Disillusionment and Hope," Depresi Eksistensial muncul dari idealisme, perasaan kecewa, terasing, hampa dan kesepian. Umumnya depresi tersebut dialami oleh Individu Gifted karena memiliki kecerdasan tinggi, sehingga tergerak merenungkan keberadaan dirinya yang amat kecil di alam semesta yang tak terhingga.
Kamuflase
Banyak orangtua dari Individu Gifted yang belum menyadari dan cenderung berasumsi bahwa anaknya yang cerdas dan berbakat istimewa tidak membutuhkan dukungan karena akan mudah menggapai mimpi, hingga berlanjut dengan merajut kehidupan yang bahagia tanpa kendala. Sebagaimana pengamatan Leta Hollingworth dalam penelitiannya, banyak Individu Gifted yang diabaikan oleh para pendidik dan orangtua karena dianggap dapat mengurus dirinya sendiri dengan baik.
Dalam studi fenomenologis yang dilakukan oleh Jackson, ketika dilakukan wawancara klinis terhadap para Individu Gifted; Mereka berupaya menyangkal, menyembunyikan atau mengaburkan pengalaman depresi untuk menutupi perasaan rapuh dan menjaga kenyamanan orang-orang di sekitarnya. Sejumlah besar bukti penelitian Jackson dalam bentuk laporan klinis, laporan dari orang tua dan laporan dari orang yang selamat dari depresi, membuktikan fakta bahwa beberapa Individu Gifted yang mengalami depresi mampu menyamarkan diri meski dalam kondisi yang sangat parah.
Seperti kasus yang dialami Kaitlyn, ia berhasil menyamarkan pergolakan batinnya yang terluka melalui pancaran wajah yang berbinar serta mampu meraih prestasi di bidang akademik dan lainnya tanpa menimbulkan kecurigaan dari orangtua dan orang-orang terdekatnya.
Nelson & Galas dalam penelitiannya melihat banyak Individu Gifted percaya bahwa mereka dicintai karena perolehan prestasi, kehormatan dan kemampuan khusus mereka. Akibatnya, mereka selalu menetapkan standar yang tinggi dan berusaha untuk tidak membiarkan dirinya gagal atau membuat kesalahan. Rasa malu dan rasa bersalah atas kegagalan menyebabkan mereka tergerak untuk bunuh diri.
Intervensi
Pihak yang berperan dalam menjaga keselamatan Individu Gifted hingga dapat menyongsong masa depannya dengan baik adalah orangtua dan institusi pendidikan. Para orangtua sebaiknya sejak dini peduli pada kebutuhan emosional dan masalah emosional dari Individu Gifted. Begitu pula institusi pendidikan sebaiknya bekerjasama dengan orangtua untuk menangani dengan tepat permasalahan yang dihadapi Individu Gifted di sekolah.#
